Tuesday 22 February 2022

Mendalami Bahasa Ibuku, Menemukan Akarku

 

Buku warisan

Setiap tanggal 21 Februari diperingati sebagai Hari Bahasa Ibu Sedunia. Bahasa Ibuku adalah bahasa jawa termasuk bahasa bapakku dan suamiku. Bisa disimpulkan bahwa kami adalah orang jawa tulen. Sejak lahir aku tinggal di Malang, Jawa Timur. Pergi ke luar Jawa pun hanya untuk berlibur. Merantau pun hanya berbeda kota saja karena provinsinya pun masih sama, di Jawa Timur. Hmm…rasanya kurang bervariasi sekali pengalamanku ini. Bukannya aku tidak mau tinggal di kota, pulau, atau negara lainnya. Aku pernah mengusahakannya sejak lulus sekolah, namun Tuhan memiliki rencana-Nya. Baiklah, meskipun demikian tetap harus ada hal yang diceritakan supaya tulisan ini tak berhenti sampai di sini. 

Sebagai orang Jawa, berbahasa Jawa merupakan kebiasaan yang harus diajarkan sejak kecil. Tumbuh di Kota Malang, membuatku berbicara bahasa Jawa ngoko bukan krama inggil. Ketika SD aku baru belajar tentang perbedaan ngoko, madya, dan krama. Tentu saja aku cukup kesulitan. Alhamdulillah aku bersyukur dengan disusunnya buku pepak basa jawa yang memuat tentang tata cara, kosakata, dan kebudayaan jawa. Saat mengerjakan PR dan tidak kutemukan jawabannya di pepak, ibuku menelepon kakek dan nenekku yang tinggal di desa kelahiran ibuku di Turen untuk menanyakan PR ku. Mereka adalah guru yang tentu saja sangat piawai berbahasa jawa krama inggil. Aku merasa senang. Sampai-sampai beliau memberi buku berjudul kembang setaman ini padaku. Buku ini seperti pepak tetapi dengan cetakan yang lebih jadul. 


Tulisan tangan nenekku

Tak kusangka, di saat yang sama, aku juga punya rasa insecure, terutama saat liburan dan menginap di rumah kakek dan nenekku. Mengapa? Karena aku harus berbicara krama inggil pada mereka. Aduh…rasanya aku jadi sungkan ngobrol, takut salah. Kini aku menyesal, ternyata kebersamaanku bersama mereka tidak lama. Kakekku wafat saat aku kelas 4 SD dan nenekku wafat saat aku kelas X SMA. Kadang aku ingin bercerita pada mereka bahwa aku kini sudah bisa berbicara krama inggil dan tidak canggung saat harus berbincang dengan para sesepuh.

Perjalananku belajar basa krama sendiri memiliki cerita menarik. Biasanya orang-orang akan bilang, “Ngapain belajar bahasa asing jika bahasa ibu sendiri malah tidak bisa?” Jleb nggak tuh! Hmm… Namun bagi saya, justru perjalanan saya mendalami krama inggil adalah saat saya mulai bekerja sebagai staf pusat bahasa, di mana saya harus mengajar bahasa asing yaitu bahasa Prancis. Terdengar kontradiktif ya tapi benar adanya. Selepas wisuda saya bekerja di sebuah universitas yang terletak di kompleks pesantren di Kabupaten Jombang. Seperti kita ketahui bahwa budaya pesantren sangat menjunjung adab dan unggah-ungguh saat berbicara terutama dengan orang yang dihormati. Awalnya aku pun merasa kagok dan jadi pendengar saja yang hanya sesekali menimpali. Namun untuk bisa bertahan tentu harus beradaptasi dan banyak praktik. Di sana aku banyak berinteraksi dengan orang-orang berbagai ragam usia. Mulai anak-anak balita, SD, SMP, SMA, mahasiswa, dewasa produktif, hingga lansia. Mereka menggunakan basa krama untuk percakapan sehari-hari. Demikian juga saat aku mengikuti kegiatan relawan di beberapa desa di sana. Bahasa Jawanya lebih halus daripada yang digunakan di Malang. Jika diamati, semakin ke wilayah barat Jawa Timur yaitu mendekati Jawa Tengah, bahasa Jawa yang digunakan lebih terdengar halus dan sopanan. Setelah 3,5 tahun di sana, Alhamdulillah akhirnya aku terbiasa menggunakan basa krama meskipun sedikit bercampur dengan bahasa Indonesia. Terharu. Seperti kembali menemukan akarku, apalagi dari sanalah juga kakek buyutku berasal. 

Ternyata selalu ada hikmah di setiap perjalanan kehidupan yang mungkin bagi orang lain tak menarik. Namun, bagi kita yang mengalami dan merasakan secara langsung akan menjadi pengalaman yang bermakna. Bahasa ibu kita tak akan punah jika terus dilestarikan. Bagaimana melestarikannya? Tentu dengan mengajarkannya, mempraktikkannya, dan membiasakannya secara turun-temurun. Meskipun kita juga menggunakan bahasa Indonesia dan mempelajari bahasa asing, bahasa ibu akan terus mengiringi, bukan menghalangi. Oleh karena itu, menurut saya masih sangat relevan kalimat yang digaungkan kemendikbud hingga saat ini, yaitu "Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing."

Selamat Hari Bahasa Ibu Sedunia.

22022022

#bahasaiburbm

#rbmipmr

No comments:

Post a Comment