Menjadi seorang wanita karir adalah salah satu
hal yang saya inginkan setelah lulus kuliah S1. Hal ini dikarenakan saya ingin
bisa membantu dan meringankan beban keluarga. Saya sangat bersyukur setelah wisuda,
saya mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan jurusan kuliah saya. Selama 3,5
tahun saya bertahan di tempat kerja saya. Tentunya selama itu saya mengalami
fase naik turun, bersemangat, jenuh, lelah, bahagia, silih berganti, dan maju
mundur untuk mengajukan pengunduran diri. Saat jenuh, saya memilih untuk
melakukan hobi saya seperti menulis, menggambar, dan menjadi relawan. Sungguh
menyenangkan bisa tetap bekerja dan berkegiatan sosial karena selain dapat
menambah pengalaman, semangat hidup, juga dapat menambah kawan dari berbagai
macam provinsi dan berbagai daerah. Saat itu saya belum berkeluarga sehingga
lebih fleksibel ke mana pun yang saya inginkan. Setelah 3,5 tahun bekerja saya
pun memilih berhenti dan pindah bekerja ke kota kelahiran. Selama 3 bulan saya
istirahat sejenak dari rutinitas bekerja di kantor. Selama itu saya menjadi
asisten penerjemah freelancer dan banyak membaca buku sambil mengajukan lamaran
menjadi pengajar bahasa di sebuah SMA dan sebuah bimbingan belajar.
6
bulan menjadi guru, pengajar bimbel, penerjemah sambil mempersiapkan pernikahan
bukanlah hal yang mudah untuk berjalan beriringan. Waktu tidak dapat
berkompromi dan saya bersyukur bisa melewatinya walaupun banyak tantangannya
seperti lelah fisik, pikiran dan hati. Desember 2017 saya pun menikah dan
memulai cerita baru. Untuk masalah pekerjaan, suami tidak pernah melarang saya
untuk bekerja dan mengembangkan ketrampilan. Kami berdua sama-sama dibesarkan
oleh ibu yang bekerja sehingga kami terbiasa mandiri sejak kecil. Namun demikian,
beradaptasi dengan hal baru dan rutinitas baru tidaklah mudah bagi saya.
Sebelumnya saat single saya dapat melakukan apa saja yang saya inginkan,
pergi ke mana saja, sekarang saya harus membagi waktu antara mengurusi urusan
rumah dan bekerja. Awal pernikahan saya
merasa bingung beradaptasi dan mengatur waktu saya untuk urusan domestik dan
urusan pekerjaan. Apa iya hanya saya yang merasa seperti ini? Saya melihat
orang-orang biasa saja meskipun mereka sudah menikah, tidak ada yang berubah
dengan performa dalam pekerjaan. Ternyata itu hanyalah prasangkaan saya saja.
Setelah saya saling bercerita dengan seorang kolega yang menikah di bulan yang
sama dengan saya, saya merasa mendapatkan teman seperjuangan. Saya tidak
sendiri rupanya.
Dikarenakan
saya merasa jenuh dengan rutinitas harian, suatu hari saya memutuskan untuk bergabung
dalam sebuah komunitas yang mewadahi ibu-ibu dan calon ibu untuk belajar banyak
hal, kebetulan saat itu komunitas tersebut sedang membuka pendaftaran anggota
baru. Kami belajar layaknya mahasiswi dan ada wisuda di akhir pembelajaran. Ada
fasilitator yang akan memberikan materi untuk berdiskusi secara online dan
diakhiri dengan tugas mingguan dan tantangan. Rata-rata mereka adalah ibu-ibu
yang sudah memiliki anak balita. Ada yang sebagai working mom dari
berbagai macam profesi, ada yang full time mom namun ada juga yang
memutuskan resign dari pekerjaannya setelah memiliki anak dan memiliki
kegiatan sampingan seperti bisnis online shop atau bisnis kuliner.
Kadang saya merasa agak minder karena saya baru belajar menjadi istri. Namun
setelah saling mengenal di grup WA dan menghadiri pertemuan, ternyata ada juga
yang masih belum menikah. Lagi – lagi kami harus bersyukur karena mengenal
komunitas ini lebih cepat sehingga dapat menjadi bekal kami untuk mengatur
rumah tangga dan mendidik anak-anak kami ke depannya. Sebuah positive support group untuk
mewarnai hari-hari kami agar tidak jenuh dengan rutinitas dan beban kerja
harian.
Hari
demi hari terlewati. Hingga saat ini usia pernikahan kami 1 tahun 3 bulan. Saat
ini kami belum dikaruniai anak. Terkadang hati ini sedih. Orang-orang di
sekitar kami yang bukan keluarga dekat selalu bertanya kepada kami. Kolega di
tempat kerja pun juga demikian. Awalnya saya cukup risih, sampai kadang malas untuk
bertemu karena pertanyaan tentang kehamilan selalu menjadi pembahasan utama.
Bahkan ada juga yang beranggapan karena saya terlalu kelelahan saat bekerja dan
stress, sehingga saya belum bisa memiliki anak. Ah..pusing kepala Barbie! Lama-lama akhirnya saya pun
terbiasa. Tidak semua komentar orang harus kita tanggapi dan tidak semua hal
harus kita urusi. Bersyukur suami saya selalu menasihati agar lebih santai saat
menyikapinya dan tak perlu dimasukkan ke hati. Usaha dan doa terus kami lakukan.
Namun Tuhan punya kehendak lain. Mungkin kami masih diberi waktu untuk belajar
memantaskan diri menjadi orang tua. Mungkin kami harus menyelesaikan dulu
hal-hal yang menjadi beban kami agar nantinya kami tidak merasa bersalah dan
akhirnya menyalahkan keadaan. Kami nikmati waktu kami berdua untuk lebih dekat
dan mengenal lebih dalam satu sama lain. Saya sempat berpikir ke depannya,
ketika kami telah memiliki buah hati nanti, apakah saya akan lanjut bekerja
atau mengajukan pengunduran diri? Sebuah PR bagi saya untuk hari esok!
Soal
tetap bekerja atau resign setelah memiliki anak pernah mengusik pikiran
saya. Saya belajar banyak dari mengobservasi maupun saat sebagai tempat sampah
curhatan teman-teman yang sudah memiliki anak, baik yang bekerja maupun sebagai
ibu rumah tangga. Beberapa teman yang saat ini memilih menjadi ibu rumah
tangga, memutuskan resign untuk mengurus sendiri anaknya, menyatakan
bahwa mereka mengalami post power syndrome. Bingung dan jenuh dengan
kegiatan sehari-hari bersama dengan bayi dan balita. Dulu ketika masih bekerja,
mereka berinteraksi dengan banyak orang, namun kini mereka hanya berinteraksi
dengan bayinya sehari-hari sambil menyelesaiakan pekerjaan rumah tangga. Mereka
rindu masa-masa bekerja dan bersosialisasi dengan teman-teman dan kolega.
Mereka menganggap ibu/istri yang bekerja lebih keren. Namun demikian mereka
juga tidak tega jika harus menitipkan pada pihak lain. Mereka ingin mendidik
anak dengan cara mereka sendiri. Di sisi lain, tibalah giliran saya mengamati
dan bertanya kepada teman yang bekerja dan menitipkan anaknya yang masih bayi
atau balita. Tak perlu jauh-jauh, mengingat apa yang dilakukan ibu saya dulu
sebelum berangkat bekerja, saya merasakan hal yang tidak mudah. Harus
menyiapkan keperluan bayi dan sarapan bagi keluarga sebelum berangkat ke
kantor. Menitipkan anak pada kakek neneknya atau di day care. Pumping
di sela-sela jam istirahat. Khawatir dengan kondisi anak, apalagi jika sakit.
Menemani anak belajar, berbincang dengan keluarga, mengerjakan pekerjaan rumah
tangga setelah pulang kantor. Sepertinya
melelahkan dan jika memang diharuskan memilih salah satu, mereka akan memilih
bersama anak. Namun demikian ada tanggung jawab yang harus mereka lakukan di
kantor. Sebuah tanggung jawab yang mengharuskan mereka untuk mengorbankan
beberapa jam dalam sehari untuk bekerja. Entah nantinya saya akan memilih yang
mana, semoga nantinya baik bagi kami.
Jujur
saya kadang merasa galau. Kegalauan saya seringkali berakar dari perasaan
membandingkan diri dengan teman-teman terutama teman-teman lama yang hanya
bertemu di sosial media. Tentang pencapaian baik pencapaian pribadi maupun
pencapaian pekerjaan. Saya sepakat
dengan sebuah gagasan bahwa membanding-bandingkan adalah salah satu faktor
penghambat kebahagiaan. Merasa bahwa hidup orang lain lebih baik, lebih enak,
sedangkan kita tak tahu permasalahan apa yang sedang mereka hadapi di balik
kebaikan yang ia dapatkan. Hidup ini, seperti pepatah jawa, “Urip iki
sawang-sinawang”. Hidup ini berdasarkan perbedaan sudut pandang saja. Mereka yang terlihat bahagia ataupun sukses
sebenarnya juga memiliki permasalahan yang mereka hadapi namun tak pernah kita
ketahui. Bahkan mungkin dari ketidak beruntungan yang menimpa kita, ada hikmah
yang bisa kita ambil. Ada hal-hal positif yang dapat kita jadikan pelajaran
untuk masa depan. Tuhan selalu punya rencana yang lebih indah daripada rencana
kita kan?
Dalam
lingkungan ibu-ibu pernahkah kita dengar perdebatan, mana yang lebih baik?
Menjadi ibu yang bekerja? Atau menjadi ibu rumah tangga? Mungkin kalimat tersebut
tidak selugas itu terlontar, namun tersirat dalam pertanyaan-pertanyaan yang
kerap kali ditanyakan? Misalnya, untuk ibu yang bekerja, akan mendapatkan
pertanyaan “Kerja dari pagi sampai sore, apa nggak kasihan anaknya?” Sementara
itu, untuk ibu rumah tangga akan mendapatkan pertanyaan, “Udah sarjana, kok
sayang nggak kerja?” Mungkin terdengar sepele tetapi menyakitkan bagi ibu-ibu
yang telah berani memutuskan dan mengambil sikap. Menerima keadaan mereka saja
butuh waktu, apalagi harus beradaptasi, dan masih harus mendapat pertanyaan
basa-basi namun menghakimi tersebut. Hal-hal semacam itu justru akan membuat
seorang ibu merasa bersalah dengan peran dan keputusan yang sudah diambilnya.
Tak sedikit yang berujung stres dan menjalani perannya dengan setengah –
setengah. Seorang perempuan, ibu, baik yang memilih tetap bekerja maupun yang
memilih menjadi ibu rumah tangga pastinya sudah memilih yang terbaik untuk
keluarganya masing-masing. Dua-duanya menurut saya baik, tergantung pada
prioritas dan keputusan keluarga masing-masing, dan kita harus saling
menghargai pendapat dan keputusan itu.
Dengan
peran saya sebagai seorang perempuan yang bekerja ini, tentunya kami dihadapkan
dengan banyaknya tuntutan dari kantor atau institusi. Satu pekerjaan belum
usai, sudah harus menyelesaikan pekerjaan lainnya. Beberapa pekerjaan dengan waktu
sedikit kadang harus segera diselesaikan. Akhirnya banyak dari kami harus
multitasking. Memang sepintas cara itu dapat efektif, namun ketika saya membaca
dalam sebuah buku, multitasking ini berdampak tidak baik, terutama bagi
kesehatan mental. Hal tersebut dapat mengurangi konsentrasi sehingga hasilnya
tidak maksimal. Bahkan kita merasa sibuk sekali, namun pekerjaan kita tak
kunjung selesai dan malah menjadi kurang produktif. Memang benar, serasa
ditampar dengan pemahaman baru saya tentang multitasking. Akhirnya saya
memutuskan untuk fokus menyelesaikan satu tugas dahulu baru kemudian yang
lainnya. Padahal selama ini baik saat mengerjakan pekerjaan di luar dan di
dalam rumah, kami sering mengerjakan beberapa aktivitas bersamaan agar lebih
menghemat waktu.
Banyak
hal yang saya lalui, banyak hal yang saya alami, kadang kala tidak sesuai
dengan ekspektasi dan harapan saya. Di situlah rasa kecewa muncul dan
menggerogoti semangat saya yang semula menyala, hingga berangsur-angsur padam.
Bercerita, mengalirkan kisah dan rasa yang ada dalam benak dan hati membantu
saya untuk lebih baik dalam menerima diri saya, menerima keadaan yang saat ini
saya jalani, menerima peran yang diamanahkan pada saya dan suatu saat nanti
akan dimintai pertanggung jawabannya. Apakah yang saya lakukan sudah baik?
Sudah menjadi manfaat bagi sekitar?
Untuk suatu target atau harapan yang tak sesuai realita, jangan pernah
merasa kalah. Lelah boleh namun harus bangkit lagi. Mulai saat ini, saya selalu berusaha untuk
fokus pada apa yang bisa saya ubah dan saya kendalikan. Untuk hal-hal di luar
kemampuan saya, saya hanya bisa berserah pada Tuhan serta yakin bahwa Tuhan
tidak akan memberikan kesulitan di luar kemampuan kita.
Oleh
karena itulah saya sering mendengar, bahwa sebagai apapun, seorang ibu haruslah
bahagia agar kebahagiaan dan kehangatan dalam keluarga dapat selalu terjaga.
Bahagia dengan peran yang dijalani saat ini, bahagia dan bersyukur dengan
pencapaian yang kita usahakan, dan bahagia menjadi dirinya sendiri. Jika
menjadi working mom, kita merasa bahagia, maka lakukanlah. Jika menjadi
ibu rumah tangga, kita merasa bahagia, maka jalanilah. Jika merasa lelah,
istirahatlah. Jika merasa jenuh, mungkin jalan-jalan bersama keluarga atau
teman-teman menjadi pilihan yang menarik. Semoga kita bisa menjadi ibu yang
bahagia, bijak serta sehat lahir dan batin.
:)