pemandangan gunung Panderman dari kaki gunung |
Masih teringat dalam memori saya tentang perjalanan pertama mendaki gunung. Saat itu saya masih duduk di bangku SMP kelas 1 dan mengikuti kegiatan jambore pramuka cabang Malang yang diselenggarakan selama 5 hari dan diikuti oleh perwakilan anggota pramuka penggalang Kota Malang. Senang sekali rasanya mendapat kesempatan untuk melakukan pendakian bersama kawan-kawan pramuka. Dari bumi perkemahan Hamid Rusdi Buring kami naik truk sapi ke kawasan gunung Panderman, Desa Pesanggrahan, Kota Batu. Kami memulai pendakian sore hari bersama-sama. Tujuan kami bukanlah puncak, melainkan pos pertama yakni Latar Ombo. Saya merasa senang sekaligus deg-degan karena saya belum memiliki pengalaman mendaki, bagaimana kalau terjadi apa-apa di sana? Namun kekhawatiran saya terhibur dengan pemandangan indah pepohonan di kanan-kiri jalan yang masih asri dan tawa canda kawan-kawan. Begitulah para pramuka memang selalu terlihat bahagia, bukan? :D Menjelang senja, udara mulai terasa dingin dan saya mulai kelelahan. Akhirnya sebelum sampai latar ombo, kakak pembina menyuruh saya untuk berhenti saja jika tidak kuat melanjutkan perjalanan. Nafas saya mulai tersengal – sengal. Saya pun memutuskan berhenti sambil memperhatikan kawan-kawan lain yang masih melanjutkan perjalanan ke atas. Ternyata udara menjadi semakin dingin saja ketika kita tak berjalan. Saya sedikit kecewa dengan pencapaian saya yang hanya sampai di sini. Namun saya cukup senang karena kemudian pengalaman tersebut menjadi oleh-oleh menarik yang dapat saya ceritakan dalam pelajaran menulis cerita di kelas bahasa Indonesia dan mendapat tanggapan positif dari guru bahasa Indonesia saya yang masih saya ingat hingga sekarang.
pepohonan pinus |
“Anna, naik gunung
yuk!” ajak Yudhis, kawan saya sekelas di bangku kuliah.
“Ke mana?” tanyaku
dengan penuh semangat. Bayangan pendakian masih menjadi hal yang menyenangkan
bagiku. Apalagi saat itu sedang ngetren buku 5 cm karya Mas Donny Dhirgantoro
tentang pendakian ke puncak Mahameru. Bukan hanya deskripsi tentang keindahan
alam pegunungan saja yang membuatku tertarik, tetapi juga tentang kekuatan
tekad dan keberanian untuk melewati kesulitan-kesulitan hingga akhirnya dapat
mencapai tujuan di puncak gunung. Saya akui semangat yang dikobarkan dalam
cerita itu begitu mempengaruhi semangat saya dan juga para pembaca lainnya,
saya kira.
“Panderman! Sama Mas Yayan dan Mbak Chloe!”
Teringat akan
misiku yang belum terselesaikan dulu, saya pun mengiyakan ajakannya. Gunung itu
bisa terlihat dari loteng rumahku jika langit cerah, terutama saat senja.
Cantik sekali. Bolehlah saya mencoba lagi, mumpung ada temannya. Mas Yayan
adalah kakak kelasku sedangkan Mbak Chloe adalah dosen kami berkebangsaan
Prancis yang memang sangat senang berpetualang, fotografi dan mendaki gunung.
Berangkatlah kami berempat dengan motor dan memulai pendakian pada siang hari
jam 11. Bisa dibayangkan betapa panasnya siang itu. Sebenarnya saya ingin
memulai lebih pagi, tapi apa daya jam karet masih beroperasi. Hehehe.
Akhirnya setelah
kurang lebih 8 tahun, saya kembali lagi ke gunung yang namanya konon berasal
dari nama seorang meneer Belanda, Van der Man lalu diucapkan oleh orang jawa
menjadi Panderman. Semangat saya masih menggebu-gebu meski di awal mula sudah
disapa dengan tanjakan paving yang cukup curam. Saya memandangi puncak gunung
yang tampak hijau segar itu. Entah mengapa tiba-tiba rasanya perut saya mual
dan cukup berat untuk melanjutkan perjalanan. Saya pun sering berhenti, rasanya
tangan saya gemetaran dan mau muntah, padahal saya hanya berjalan tanpa membawa
tas di punggung. Meskipun sudah dihibur
dengan gurauan teman-teman, foto-foto, tetap saja rasa mual itu tak kunjung
hilang. Ternyata setelah saya cari tahu, gejala tersebut dinamakan altitude
sickness atau acute mountain sickness. Hal tersebut dipengaruhi oleh
semakin tinggi permukaan yang didaki, semakin menipis kadar oksigen yang masuk
ke paru-paru. Apalagi jika stamina pendaki tidak bagus karena kurang
berolahraga, misalnya, sehingga kondisi tubuh mudah lelah. Gejalanya bisa berupa mual, pusing, bahkan
muntah.
Setelah rasa mual
saya mereda karena diberi Mbak Chloe minuman susu fermentasi, kami pun
melanjutkan perjalanan ke atas. Namun entah sedang apes mungkin, kami berempat yang
memang belum pernah sampai puncak, tersesat padahal kami sudah dibekali denah
yang digambar langsung oleh juru kunci tempat kami memulai pendakian. Alih-alih
mengambil rute menuju puncak, kami justru mengambil rute memutar kembali turun.
Kami tersadar setelah bertemu dengan beberapa pendaki lain. Para pendaki banyak yang bermalam di
puncak atau di Latar Ombo. Rata-rata mereka berkelompok. Kami memang tidak ada
niatan untuk bermalam, sehingga hanya membawa bekal untuk piknik. Akhirnya, ya
sudahlah kami kembali mengikuti rute turun dan tidak meneruskan perjalanan ke
puncak. Kami pun beristirahat di sebuah pondokan kecil setelah sumber air yang
mengalir deras dan sangat segar. Air di sini dapat diminum langsung, tampak
beberapa pendaki yang baru memulai mengisi botol minumnya dengan air dari
sumber tersebut. Di pondokan kecil itu, kami memasak mie instan, karena kami
juga membawa kompor kecil untuk persiapan memasak mie di puncak. Apa daya
akhirnya kami cuma bisa menikmati bekal di pondokan kecil sambil ngobrol dan
berfoto. Senja mulai turun, kami pun
mengakhiri piknik singkat itu. Cukup melelahkan buatku, namun mungkin tidak
bagi sahabat-sahabatku. Maaf puncak Basundara, mungkin lain waktu saya akan
datang lagi. Dua kali gagal sampai puncak. Ada rasa kecewa sekaligus harapan
untuk mencapai puncaknya sekali lagi. Apalagi Ibu saya yang pada saat remaja
pernah berkemah di puncaknya, membuat tekad saya semakin kuat. Saya juga pasti
bisa. Entah kapan.
***
Seiring berjalannya
waktu, sahabat-sahabat saya pun pergi. Mereka bekerja di kota yang
berbeda-beda, Mbak Chloe pun kembali ke Prancis dan melanjutkan petualangannya.
Saya pun demikian. Semenjak bekerja di Jombang, setiap pulang ke Malang saya
selalu melewati kawasan pintu gerbang gunung panderman di Desa Pesanggrahan.
Terlihat jelas puncaknya memanggil-manggil saya untuk ke sana. Saya hanya
berangan-angan dan sempat mengajak adik kelas saya yang sudah sering melakukan
pendakian untuk ke sana lagi. Namun waktu belum bersahabat. Hingga kemudian di
bulan Oktober 2015, seorang kawan baru dari Jakarta yang saat ini bekerja di
Surabaya, Ria, mengajak saya untuk ke sana. Entah apa yang membuatnya tertarik,
namun bagi saya ini adalah suatu tanda yang baik. Mumpung musim hujan belum datang menghampiri,
saya setujui ajakannya. Kami pun mengajak 3 orang lagi, kali ini dengan Ario
dan Mas Dwi yang sudah berpengalaman ke sana beberapa kali, sehingga kami tak
khawatir akan tersesat lagi. Lalu saya mendapat teman baru, namanya Kicha, yang
tidak disangka-sangka adalah adik kelas saya semasa SMP, dan kami baru
menyadari saat berbincang-bincang dalam perjalanan. “Hahaha, Malang memang
sempit!” Begitulah reaksi kami.
ladies in action |
Ternyata sudah
banyak hal yang berubah sejak terakhir kali saya ke sana. Saat ini sudah ada
parkiran yang cukup luas untuk penitipan sepeda motor. Untuk tiket masuknya
kami hanya membayar Rp 7.000 saja. Sebelum mendaki, seorang kawan
mengingatkanku untuk santai, rileks, dan tak perlu memikirkan apa-apa. Kekhawatiran dari dalam diri sendiri
inilah yang justru membuat kita pusing dan mengalami altitude sickness.
Emosi saya pun tak semenggebu-gebu yang kemarin. Kali ini lebih ‘woles’ alias slow, yang penting harus bisa
menikmati perjalanan. Perjalanan kami isi dengan ngobrol, tertawa, dan berfoto
(dengan wajah berpeluh dan berdebu tentunya) dan melupakan segala permasalahan
yang kami hadapi masing-masing.
full team :) |
jalanan tanah berdebu |
Saat itu, musim
penghujan belum datang. Tanah kering dan berdebu. Jangan tanya bagaimana rupa
pakaian, tas dan sepatu kami yang sudah terkontaminasi butiran-butiran debu. Warna
aslinya pun berubah warna menjadi coklat. Kami harus mengenakan masker agar
tidak banyak debu yang masuk ke saluran pernapasan kami. Di sepanjang jalan
setapak yang kami lalui, kami bertemu dengan para pendaki lain juga yang turun
dari puncak. Walaupun tak kenal, kami saling menyapa bahkan tak jarang yang
memberikan semangat. Mereka ada yang berkemah di sana namun ada juga yang
seperti kami yang hanya piknik. Kami melalui 2 pos, yakni latar ombo dan watu gede. Ada berbagai macam
medan yaang kami lalui, seperti medan tanah yang cukup landai, bebatuan besar,
batang pohon hingga tanah yang sangat curam sehingga kami harus berpegangan
pada akar pohon atau batu yang menyembul di atas tanah. Saat itu ada cerita
lucu ketika mandaki medan yang cukup curam, tiba-tiba pijakan dan peganganku
tidak terlalu kuat, sehingga saya pun tergelincir ke bawah, padahal di bawah
masih ada kawan yang akan berusaha untuk naik. Alih-alih merasa sakit, saya dan
kawan-kawan justru tertawa bersama. Kadang menertawakan ketidakberuntungan itu
cukup menyenangkan. Selain itu saya juga menjumpai medan yang menurut saya
menakutkan. Sebelah kiri adalah tebing dan sebelah kanan adalah jurang tanpa tanaman sebagai pagarnya, sedangkan tanak
pijakan kami hanya selebar sepasang kaki yang berjajar. Saya memiliki phobia
ketinggian yang meski tidak parah, rasanya kaki ini sulit digerakkan. Tangan
pun agak gemetaran. Saya berpegangan pada tanah tebing, rencananya sih mau
merayap di situ seperti spiderman hahaha, namun seorang pendaki yang berpapasan
dengan kami, memberi saya semangat untuk tidak takut melewatinya. Akhirnya saya
pun berhasil melewati sambil deg-degan dan merapalkan doa dalam hati. Yes! Saya
berhasil mengalahkan kekhawatiran dalam diri saya. Mas Dwi selalu berkata ‘landai..landai..’
untuk menyugesti kami saat kami ingin menyerah.
Puncak Basundara |
Setelah sekitar 3,5 - 4 jam kami berjibaku dengan medan
yang menguras tenaga, sampailah kami di
puncak Basundara, 2045 mdpl. Senang sekali rasanya. Alhamdulillah akhirnya
sampai juga. Saya dan teman-teman duduk menikmati bekal. Piknik sambil
memandang hamparan indah di hadapan kami. Sejauh mata memandang deretan hijau
pepohonan pinus dan kawan-kawannya. Kata orang-orang, di puncak kami nanti akan
bertemu dengan segerombolan kera yang bergelantungan di pepohonan. Namun saat
itu kami tidak bertemu dengan mereka. Sambil menikmati bekal, saya sempatkan
sedikit untuk berdialog dengan diri saya sendiri. Dalam perjalanan, Mas Dwi
bertanya pada saya, “Cari apa kamu Na di Panderman? Di sana nggak ada apa-apa
lho.”
Saya hanya tersenyum. Sebenarnya saya sudah
menemukan apa yang saya cari ketika saya sadar bahwa saya sudah sampai di
puncak. Bukan, ini bukan hanya soal pencapaian di puncak. Melainkan saya merasa
satu langkah lebih berhasil daripada pendakian sebelumnya. Pikiran saya mulai
merancang analogi. Kita ibaratkan sebuah gunung adalah sebuah impian dan
cita-cita. Saya gagal di percobaan pertama, saat itu karena saya tidak kuat
secara fisik. Kemudian saya mendapat kesempatan kedua, namun lagi-lagi saya
gagal, karena keterbatasan informasi yang membuat saya tersesat. Lantas, apakah
saya menyerah? Sempat terpikir demikian, namun ternyata saya mendapatkan
kesempatan itu lagi, dan kali ini saya sudah tahu kelemahan saya dan berusaha
untuk mempersiapkan sebaik mungkin, dan Alhamdulillah saya sampai di puncak. Hei,
bukankah perjalanan menuju cita-cita juga seperti itu? Hal ini sekaligus
menjadi tamparan bagi saya untuk tak berhenti mencoba di kesempatan kedua,
ketiga dan seterusnya, tentunya dengan bekal yang memadai, terutama bekal
mental. Beberapa kawan saya memang baru pertama kali ke sini dan mereka
langsung bisa mencapai puncak, tak seperti saya. Namun saya tak peduli.
Orang-orang juga tak akan mempersoalkan berapa kali kamu mencoba dari
kegagalan, yang mereka tahu adalah kamu sudah berhasil. Lagipula, dengan
membandingkan diri sendiri dengan orang lain akan selalu membuat kita merasa
kurang beruntung. Bagi saya, sukses adalah ketika kita mampu menjadi lebih baik
dari diri kita sendiri di masa lalu, jika saat itu saya hanya mampu sampai
Latar Ombo, maka pencapaian saya 10 tahun kemudian adalah Puncak Basundara.
Keindahan dari atas gunung |
Bersama kita bisa |
Berada di puncak bukan berarti kita bisa
menyombongkan diri. Saya pernah membaca tulisan, entah siapa yang menulis, semakin
dekat kita ke langit, kita harus lebih membumi. Semakin berada di puncak,
semakin dekat kita pada langit, harus semakin rendah hati kita bersikap. Ya,
mungkin seperti itulah maksudnya. Saya pun baru pemula dan bukan siapa-siapa dibandingkan kawan pendaki lainnya. Udara segar masuk mengaliri saluran
pernapasan. Di kejauhan saya melihat ada asap kebakaran, ah rupanya kemarau
membuat bagian kecil hutan pegunungan ini berasap. Burung-burung berterbangan
bebas di langit biru cerah. Sungguh kecil sekali diri ini di hadapan Sang Maha
Kuasa yang menciptakan keindahan ini. Bendera merah putih berdiri gagah di ketinggian
2045 mdpl, menyambut kedatangan anak-anak muda penuh semangat. Namun sayang,
beberapa papan dan bebatuan telah dicorat-coret oleh tangan-tangan yang
terlampau kreatif namun tak pada tempatnya itu. Semoga ke depannya mereka
tersadar untuk lebih menjaga kebersihan dan keindahan alam sekitar. Seperti
halnya alam menyediakan berbagai kebutuhan kita.
pique-nique |
Medan turunan |
Setelah dirasa cukup menikmati piknik, kami pun
turun. Saya masih diliputi ketakutan untuk turun, takut tergelincir hingga
akhirnya saya memutuskan untuk meluncur seperti anak kecil yang bermain di
perosotan namun terbuat dari tanah itu. Sangat asyik hingga hilanglah rasa
takut saya. Tak saya pedulikan celana training yang warnanya sudah lebur dengan
warna tanah, kapan lagi kita bisa seperti ini. Nikmati saja prosesnya. Akhirnya
kami sampai di bawah dengan selamat dengan waktu yang lebih cepat daripada
ketika naik tadi.
Perjalanan
bukan hanya tentang tujuan, pendakian bukan hanya tentang sampai ke puncak,
tapi lebih dari itu, perjalanan dan pendakian adalah tentang menikmati proses, mengikis
ego, merekatkan persahabatan, menjalani setiap momen, mendengarkan deru
nyanyian angin, merasakan terjalnya bebatuan dan tanah, serta ikut merasakan
menjadi bagian dari hutan sekitar, maka saya tak lagi merasa sendiri. Jagalah
alam sekitar kita, maka alam pun akan memberikan tempatnya untukmu. Salam
Lestari!
22122015
Informasi pendukung : infopendaki.com
No comments:
Post a Comment