Wednesday 23 May 2012

Mengenang Samudera



Kerinduan itu datang lagi. Menusuk bagai pisau belati. Hingga hati terasa tercabik - cabik. Perih, kala nama itu kembali terngiang, terkenang, dan terbentang dalam ingatan. Menyalakan kembali dian dalam diriku yang telah kupadamkan agar tak meleleh, agar tak habis dihisap api.
Desir angin, debur ombak, kilau pasir putih, kicau kawanan burung – burung serta semburat jingga di batas horizon yang masih enggan untuk digantikan kelamnya malam masih setia menemaniku berkelana ke masa lalu. Masa di mana kami selalu bersama, baik sedih maupun senang  walau tak banyak kudengar kata – kata terucap darinya. Ia yang selalu terlihat tegar, setegar karang di tepi pantai meski badai dan ombak kerap kali menghempasnya. Ia yang selalu patuh pada ibu, sepatuh matahari terhadap titah penciptanya meski tak sejalan dengan keinginan hatinya. Ia adalah Samuderaku, Samudera kami semua.
Masih tetap kupandangi lautan lepas di hadapanku. Tak berujung. Seperti halnya cinta ibu padanya. Ibu, wanita berusia 45 tahun itu kini harus menghidupi aku, buah hati satu – satunya yang lemah. Ibu yang tak pernah mengeluh, Ibu yang selalu menolak jika kuajak pergi ke pantai. Pantai, laut dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya membuat ibu teringat kenangan pahitnya. Aku ingat, ibu pernah bercerita bahwa ayahku yang seorang angkatan laut, meninggal dalam melaksanakan tugasnya di Samudera Hindia. Alangkah tragisnya! Ketika itu aku masih sangat kecil dan tak ada satu pun kenanganku bersama ayah. Aku hanya mengenal ayah dari cerita ibu dan foto – fotonya. Wah, ayahku ternyata tampan. Mirip sekali dengan kakakku, Samudera.
Hmmm… SAMUDERA. Kutulis besar – besar barisan huruf membentuk namanya di pasir.  Lagi – lagi hatiku ngilu mengeja namanya. Rasanya seperti ada sepi yang tiba – tiba hadir menyeruak tanpa permisi. Semua hening sejenak. 5 detik kemudian,Wuuuusss….. Kudapati barisan huruf – huruf itu telah rata dengan pasir yang lain. Dihapus ombak sampai tak berbekas.
***
            “Tidak!! Ibu tidak akan mengizinkanmu pergi. Ibu tidak merestui, Nak!”
            Aku tersentak oleh teriakan ibu. Kuhampiri ibu dan Kak Sammy, panggilan Kak Samudera, yang saat itu berada di ruang makan. Kulihat  raut wajah ibu menegang dan butiran bening membasahi pipinya. Aku hanya diam.
            “Ambil saja pendidikan dokter. Ibu yakin kau bisa. Itu lebih baik untuk masa depanmu.”
            “Tetapi aku tidak menyukainya.”
            Ada getar dalam suaranya. Tanda ia menahan emosinya.
            “Cobalah dahulu. Cobalah untuk menyukainya.”
            Ia menghela napas dalam – dalam. Tak ingin berlama – lama dalam situasi yang tidak nyaman ini, ia memilih untuk mengakhiri perbincangan itu, mengambil kertas formulir di atas meja dan masuk ke kamarnya. Formulir pendaftaran akademi militer angkatan laut, kuintip sekilas. Aku bisa mengerti. Ibu tidak ingin kehilangan lagi. Ibu tidak ingin cerita yang sama terulang lagi. Namun ibu lupa, nasib manusia berbeda – beda. Semuanya telah ada yang mengatur dengan skenario terbaik. Yah…Ibu terlalu hanyut dalam elegi masa lalu.
            Itulah Samudera. Hatinya yang seluas samudera lebih baik mengalah daripada melihat ibu menangis. Baginya mengalah lebih baik daripada memperpanjang masalah.  Di usianya yang sudah 18 tahun ini, ia telah berubah menjadi lelaki dewasa yang memprioritaskan keluarganya. Tegar, berwibawa, patuh dan santun.     Kak Sammy sangat menyukai pantai, laut, samudera dan segala sesuatu yang berkaitan dengan itu. Lebih – lebih lagi karena namanya. Sesuai saran ibu, ia melanjutkan ke universitas ternama di kotaku dan mengambil jurusan pendidikan dokter. Tak diragukan lagi. Prestasinya selama 1 tahun luar biasa cemerlang. IP nya selalu cumlaude. Namun sayang, ia tak terlalu membuka diri dalam pergaulan di kampusnya. Cenderung dingin dan tak peduli masalah sekitarnya.  Satu – satunya sahabatnya yang kutahu adalah Bara. Bara yang tak terlalu pandai namun sangat menyenangkan dan pandai bergaul. Aku heran, mengapa ia bisa cocok dengan Kak Sammy?
            Ibu bangga. Ibu tersenyum. Aku pun tersenyum. Namun tanpa kami sadari, Kak Sammy menangis seorang diri di dalam kamarnya. Ia sudah tidak tahan lagi. Batinnya memberontak. Ia tak pernah menemukan rasa bernama bahagia dan puas dalam hidupnya selama setahun ini. Selama itu ia mencoba bertahan. Mencoba melakukan sesuai wejangan ibu dengan sepenuh hati. Namun hatinya tetap tak bisa dibohongi. Ia tak bisa menikmati semua ini. Ia frustasi. Ia hanya mampu menyimpannya sendiri tanpa mau berbagi. Ini bukanlah dunianya karena laut telah lebih dulu memanggil – manggilnya jiwanya.
Puncaknya, ia pergi dari rumah tanpa pamit. Bara mencarinya kesana - kemari, tetap tak ketemu. Aku tahu ke mana ia pergi. Pasti ke pantai. Kami mencari ke semua pantai terdekat. Hmm .. NIHIL! Kami nyaris putus asa. Sudah 4 hari ia pergi tanpa kabar. Hanya secarik kertas berisi pesan singkat yang sedikit terbakar di ujungnya. Ibu semakin khawatir membaca pesan singkat itu. “Sudah saatnya mengakhiri semua ini. Sekarang atau nanti akan sama saja. Lebih lama bertahan justru akan semakin tersiksa.”
Ibu tak bisa tidur memikirkannya. Kata – kata itu telah menggerogoti semangat ibu. Ibu tak mau makan. Aku sedih. Aku hanya bisa mendoakannya agar segera kembali pulang.
Hari ke-5 setelah kepergian Kak Sammy,
“Toktok..tok.. Assalammu’alaikum.”
Sosok tinggi tegap dengan rambut nyaris gundul datang bersama seseorang yang sudah sangat kami tunggu – tunggu kedatangannya. Aku segera menyambutnya dengan penuh kelegaan. Aku yakin ia tak akan melakukan hal senekat itu. Ia adalah kakakku yang paling tegar.
Laki – laki tinggi tegap itu adalah teman ayahku semasa menjadi angkatan laut. Ternyata selama beberapa hari ini Kak Sammy tinggal di rumahnya. Namanya Pak Rangga. Kulihat ibu, Kak Sammy dan Pak Rangga berbincang – bincang cukup serius di ruang tamu.  Setelah melewati perbincangan yang cukup lama, ibu menghela napas dan mengangguk pelan tanda setuju. Alangkah bahagianya kakakku yang tampan itu. Ia mencium tangan ibu lalu memeluknya. Kulihat Pak Rangga juga tersenyum lega. Kak Sammy pun memelukku dengan mata berbinar – binar dan senyuman cerah. Telah lama kuingin melihat wajah itu. Tak ingin lagi kulihat wajahnya yang selalu murung dan redup. Aku ingin dia hidup dengan sebenar – benarnya hidup.
Ia menulis beberapa kalimat dalam buku catatanku. Ia pergi pagi – pagi tanpa sempat mengucapkan perpisahan. Ia hanya tak ingin mengusik mimpi indahku. Benar saja, saat itu aku benar – benar mimpi indah.
“Dinda sayang, saat ini Kakak benar – benar telah bebas. Kakak pergi bukan karena tak sayang pada kamu dan ibu. Kakak sangat sayang pada kalian. Kalianlah harta Kakak yang paling berharga. Kakak hanya ingin mengejar mimpi. Anggukan ibu kemarin adalah pelepas borgol dalam hati dan pikiran Kakak selamabertahun - tahun. Laut telah memanggil jiwaku. Jaga diri baik – baik. Ikuti kata hatimu selama itu benar. Kamu adalah mentariku yang selalu menghangatkan hari – hariku.
Samudera yang sedang berbahagia.
Aku terharu membacanya. Semoga kau baik – baik di sana Kak.
Keesokan harinya,
Sebuah panggilan telepon membangunkanku dan ibu. Beberapa menit setelah mengangkat gagang telepon, ibu menangis sesenggukan. Ia segera berlari menghampiriku yang masih di tempat tidur. Ia menangis sambil memelukku. Terbata – bata ibu menceritakannya padaku. Berita itu bagai mimpi buruk yang berlanjut di dunia nyata. Tangisku pun tak sanggup dibendung lagi. Sementara itu, di luar hujan turun dengan deras. Alam pun ikut berduka. Seorang samudera telah pergi dan tak kembali.
***
            “Mentari!”
            Aku terperanjat. Panggilan ibu menyeretku kembali ke alam nyata. Ternyata aku sudah lama duduk di sini. Tak kusadari matahari telah bersembunyi di balik peraduannya. Siap berganti dengan malam beserta kawanannya, bulan dan bintang – bintang.
            “Sampai kapan kau mau terus duduk di situ? Ayo Bara bantu ibu menuntun Mentari ke kursi roda.”
            Ibu dan Bara membantuku kembali ke kursi roda. Tak terasa sudah 10 tahun sejak peristiwa pilu itu. Kini aku sudah berusia 26 tahun. Kini kami tak lagi tinggal berdua. Bara telah resmi menjadi anggota keluarga kami. Akhirnya aku tahu mengapa selama ini Bara begitu dekat dengan Kak Sammy. Ternyata ia ingin sering – sering bertemu denganku. Hehehe. Ia tak peduli aku selalu menggunakan kursi roda untuk berpindah tempat. Namun demikian, ia merasa sangat beruntung mengenal Kak Sammy. Ia telah banyak belajar dari kakakku.
Saat ini kami sedang berlibur di sebuah villa di tepi pantai. Ibu tak pernah paranoid lagi terhadap laut. Ibu telah sadar bahwa tak pantas ia menyalahkan apapun. Ini adalah kehendak-Nya. Lagipula kematian Kak Sammy bukanlah di laut tetapi di darat. Kematian dapat menjemput siapa pun di mana pun. Walau demikian aku bahagia, Kak Sammy menghadap pada-Nya dalam perjalanan untuk menuntut ilmu yang sesuai dengan kata hatinya. Tanpa adanya keterpaksaan, tanpa adanya beban kehidupan dan kini ia telah temukan kebebasan yang telah lama ia damba – dambakan.
“Meski ia tak lagi bersama kita. Meski ombak menghapus namanya. Namun ia kan selalu ada dalam hati ini.”Ibu dan Bara serempak mengangguk sambil tersenyum mendengar kata - kataku.







           
           

No comments:

Post a Comment