Asumsi apa yang pertama kali muncul dalam benak Anda ketika membaca judul dari roman karya Guy de Maupassant ini ? Sebuah cerita tentang seorang model yang cantik dan dipuja para lelaki ? Pertama kali membaca judul tersebut pikiran saya segera tertuju pada bentuk kekaguman seorang Guy de Maupassant terhadap seorang model yang sangat cantik. Namun setelah membaca karya ini, ternyata asumsi saya salah. Karya ini bukanlah bentuk kekaguman pengarang terhadap seorang model melainkan mengenai kisah kehidupan seorang pelukis dan modelnya yang cukup tragis.
Adalah Jean Summer, seorang pelukis yang memiliki seorang istri yang cacat dan duduk di kursi roda. Awalnya, sang istri adalah model dari lukisan karya – karyanya. Jean dan Josephine, nama wanita itu, selalu bersama – sama. Hingga kemudian Jean merasa jengah dengan tingkah laku Josephine yang dianggapnya terlalu berlebihan padahal sebelumnya Jean sangat mencintai Josephine dan tergila gila padanya. Ia pun meninggalkan cukup banyak uang untuk Josephine lalu ia pergi begitu saja. Diperlakukan seperti itu, Josephine tidak bisa tinggal diam. Sebagai seorang perempuan ia merasa harga dirinya diinjak – injak jika hanya disamakan dengan sejumlah uang. Ia mengembalikan semua uang yang tidak ia butuhkan itu pada Jean yang sedang berada di rumah kawannya. Pertengkaran pun terjadi. Kemudian terungkap bahwa Jean akan dinikahkan dengan seseorang di Paris. Mengetahui hal tersebut Josephine menantang Jean jika lelaki itu bersedia menikah dengan gadis lain maka ia akan melompat ke luar jendela. Dengan senang hati Jean mempersilahkan wanita itu untuk melompat ke luar. Di luar dugaan, Josephine benar – benar nekat melaksanakan ancamannya. Akibatnya kakinya patah dan ia terpaksa harus duduk di kursi roda sepanjang hidupnya. Jean Summer dan Josephine pun menikah, namun karena atas dasar keterpaksaan, akhirnya keluarga mereka tidak bahagia.
Hal yang menarik dalam roman ini adalah gaya penceritaan tentang kehidupan sang tokoh. Cara pengarang menjelaskan kehidupan Jean dan Josephine adalah melalui dua orang yang duduk memperhatikan mereka berdua. Dari obrolan tokoh sampingan tersebut dapat diketahui jalan hidup serta karakter tokoh utama. Tentu saja hal tersebut tidak terlepas dari banyak opini yang berkembang. Contohnya adalah pada bagian sebelum kisah kehidupan Jean diceritakan. Mereka menyatakan bahwa kebanyakan seorang pelukis melakukan pernikahan yang bodoh. Mereka menikahi modelnya sendiri, model yang dicintainya. Di sinilah, muncul suatu pernyataan tentang tren yang berkembang dalam masyarakat seniman khususnya pelukis bahwa setelah model tersebut bekerja untuk mereka, mereka pun menikahinya. Hal tersebut diungkapkan oleh Alphonse Daudet dalam bukunya yang berjudul “Les Femmes d’artistes.” Mungkin saja dengan adanya opini tersebut, penulis ingin sedikit “menyentil” gaya hidup para pelukis pada zaman itu.
Selain dilihat dari gaya penceritaanya, cerpen ini juga memiliki kekuatan pada penggunaan diksinya. Diksi yang digunakan penulis sangat bagus, terkesan mendayu – dayu dan banyak menggunakan kata – kata yang puitis. Contohnya pada awal paragraf yang mendeskripsikan tentang setting tempat peristiwa tersebut. Dia menggambarkan tentang sebuah pemandangan di tepi pantai dengan pasir pantainya, dengan tebing – tebingnya, dengan gelombang lautnya dan keadaan sekitar pantai. Sangat teliti sampai pada detail warna obyeknya. Maupassant menuliskan prolog yang menawan, sangat cocok sebagai hidangan pembuka jika cerita ini diibaratkan sebagai suatu rangkaian hidangan makanan. Namun sayangnya hal penggunaan diksi tersebut membuat saya sebagai pembaca bingung untuk memahami permulaan jalan ceritanya. Hal ini disebabkan banyaknya penggunaan diksi yang puitis dan memang bukan bahasa populer yang sering kita dengar sehari – hari.
Keunikan lain yang bisa dikupas dalam cerita ini adalah tentang citra diri seorang perempuan. Seorang perempuan yang digambarkan melalui tokoh Josephine adalah sebagai seorang model yang sangat cantik. Kecantikan seorang perempuan tentu saja sangat menarik bagi seorang Jean. Apalagi jika dikaitkan dengan profesi Jean sebagai seorang pelukis. Seorang pelukis biasanya mampu melihat keindahan suatu obyek dari berbagai sisi dan mampu mengapresiasi obyek tersebut lalu mengekspresikan luapan perasaan dan pemikirannya dalam karyanya. Keindahan daya tarik seorang perempuan adalah inspirasi yang wajar bagi seorang pelukis laki – laki. Seperti halnya, lukisan Monalisa karya pelukis besar Leonardo Da Vinci yang sangat terkenal. Namun demikian, di balik kecantikannya, jiwa seorang perempuan dalam cerita ini digambarkan memiliki sensitivitas, harga diri dan keberanian yang tinggi. Hal ini dapat dicermati pada cerita tentang Josephine yang mudah tersinggung ketika merasa tak diperhatikan, tentang Josephine yang marah kepada Jean karena tiba – tiba meninggalkannya dengan segepok uang seakan – akan ia adalah wanita murahan dan tentang keberanian atau lebih tepatnya disebut sebagai kenekatan Josephine dalam melaksanakan ancamannya untuk terjun dari jendela jika Jean tetap akan pergi ke Paris. Kekuatan tokoh perempuan tersebut menunjukkan bahwa unsur feminisme mulai perlahan muncul. Wanita mulai berani untuk menuntut haknya maupun membela dirinya yang tidak rela jika harga dirinya terinjak – injak oleh kaum lelaki. Namun kenekatannya untuk terjun dari jendela sepertinya bukanlah tindakan bijaksana. Si penulis mungkin ingin menyampaikan tentang sifat harfiah wanita bahwa wanita cenderung untuk lebih memperturutkan perasaanya daripada logikanya apalagi jika disulut dan ditantang sedemikian rupa sehingga tersulutlah emosinya yang justru akan mencelakakan dan merugikan dirinya sendiri di masa yang akan datang.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari cerita ini adalah bahwa dalam menjalani sebuah hubungan itu harus dapat saling memahami satu sama lain dan tidak saling mengedepankan ego masing – masing. Saling memahami satu sama lain memang bukan hal yang mudah, perlu waktu yang tidak sebentar dan cobaan kehidupan yang tidak ringan. Kebahagiaan dan janji – janji yang Jean dan Josephine rajut di awal perkenalan nyatanya tidak berlanjut sampai setelah keduanya menikah karena pernikahan tersebut adalah pernikahan yang dibangun di atas ego salah satu pihak saja. Hal – hal tersebut sangatlah sering dan wajar terjadi dalam kehidupan di masyarakat. Tak jarang, harus ada salah seorang tokoh yang berkorban untuk memenuhi keinginan dari tokoh yang lain. Biasanya keadaan semacam ini akan berakhir sangat menyedihkan dan menyakitkan jika tak jua muncul kesadaran dari masing – masing individu untuk saling memahami. Oleh karena itulah, pengaruh perilaku masyarakat sangat kuat dalam cerita ini. Mungkin saja cerita ini memang ditulis sebagai cerminan dari kehidupan masyarakat yang berkembang saat itu dan dapat menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat pada masa sekarang. Inilah kekuatan karya sastra, mampu menginspirasi dan memberi pelajaran berharga melalui perbedaan ruang dan waktu. Tergantung seberapa besar kemampuan pembaca untuk mengkaji dan menggali apa yang ada dalam karya sastra tersebut.
Oleh : Anna Rakhmawati
0911130018
No comments:
Post a Comment