Matahari sore itu tampak cerah. Cerah yang lembut bukan yang menyengat seperti kala siang hari. Angin semilir menambah sejuknya suasana. Anak – anak kecil berlarian dengan riang gembira. Tertawa – tawa ceria seakan tak ada beban yang menghimpitnya. Ada yang bermain sepak bola, layang – layang, petak umpet, atau pun hanya sekedar duduk – duduk melihat sepak bola di tepi lapangan. Rasanya ingin sekali bermain bersama mereka. Namun, sayang aku hanya bisa memperhatikan mereka dari jauh, karena aku hanyalah sebatang ilalang. Sebatang ilalang yang hanya mampu menyaksikan apa yang terjadi tanpa bisa berbuat apa - apa.
Selama ini aku sangat menikmati peranku sebagai ilalang. Bercanda dengan angin, bersahabat dengan kupu – kupu, berkawan dengan hujan, bahkan beberapa orang sengaja berfoto – foto ria dengan mengikutsertakan diriku sebagai latar belakang foto – fotonya. Bahkan tak jarang pula ada yang memanfaatkanku sebagai pembuangan akhir, seperti Si Dogi dan Si Pusi. Namun aku paling benci lagi jika ada yang membuang sampah seenaknya di sekitarku. Padahal tempat sampah juga telah tersedia di tepi lapangan.
Selama ini aku tidak pernah terganggu dengan keadaan di sekitarku. Setiap hari berjalan dengan biasa saja. Semua sibuk dengan rutinitasnya masing – masing. Hingga suatu hari sebuah berita menghebohkan kami semua. Sebuah perusahaan sedang merencanakan pembangunan sebuah mall baru di kawasan ini termasuk lapangan ini. Aku sedih, bingung, marah bercampur kecewa. Jika lapangan ini benar – benar akan digusur dan dijadikan sebuah pusat perbelanjaan, maka bagaimana nasibku? Nasib kawan – kawanku yang lain? Apakah kami semua akan dikorbankan begitu saja demi menggemukkan kantong – kantong para kapitalis itu? Bukankah hal tersebut justru akan semakin menghidupkan budaya hedonis dalam masyarakat. Tidakkah sedikit saja mereka menyadari bahwa mereka telah mengambil lahan bermain anak – anak? Apa sih yang mereka cari? Bukankah mereka telah membangun pusat perbelanjaan di mana – mana? Tak pernah puas memang. Mereka juga sangat bertanggung jawab terhadap tumbuh kembang generasi penerus bangsa ini.
Aku benar – benar marah. Pengorbanan kami serasa tak ada harganya jika tahu begini. Kadang aku jadi iri pada sahabat – sahabatku sesama ilalang di daerah pinggir kota. Suatu hari aku mendengar perbincangan dua orang laki – laki yang beristirahat di bangku panjang di dekatku.
”Pak Dul tahu tidak, padang ilalang di daerah pinggir kota sebelah barat kabarnya akan dibabat dan akan dibangun sebuah komplek sekolah.”
”Sekolah apa Pak Man?” tanya Pak Dul yang berbadan gendut itu ingin tahu.
”Itu lho Pak, sekolah percontohan terpadu SD sampai SMA berstandar internasional. Daerah tersebut kan memang luas sekali. Suasananya pun tenang, tidak terlalu banyak hiruk pikuk. Sangat cocok untuk suasana belajar.”
”Wah betul itu Pak! Lagipula padang ilalang itu jika dibiarkan begitu saja tanpa ada pengelolaan yang baik akan jadi kurang bermanfaat juga nantinya. Lantas untuk pendanaannya apakah akan dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah?”
”Seperti yang saya baca dari koran kemarin, memang pemerintah telah mengalokasikan dana untuk pembangunan sekolah ini. Namun tidak sepenuhnya karena pembangunan sekolah berstandar internasional ini juga mendapat bantuan dana dari pihak pengelola pendidikan di Australia. Jadi telah ada kerja sama antar kedua negara tersebut. Oh iya Pak Dul tahu padang rumput di daerah Merjosari? Di situ juga akan dibangun sebuah rumah singgah dan sekolah alam untuk anak – anak jalanan. Pengelolanya adalah teman kakak saya, Pak Habib, seorang pengusaha keramik yang sukses. Pak Habib orang yang cerdas dan memilki kepedulian sosial yang tinggi, terutama pada anak – anak jalanan.”
”Wah, syukurlah. Ternyata masih ada ya pengusaha – pengusaha yang memiliki kepedulian sosial seperti Pak Habib. Semoga saja masih banyak pengusaha – pengusaha yang lebih peduli pada nasib rakyat kecil.”
”Benar Pak Man, saya harap juga begitu. Namun sayang sekali ya Pak, lapangan rumput ini sebentar lagi akan menjadi pusat perbelanjaan. Padahal tidak kurang – kurang banyaknya pusat perbelanjaan di kota ini. Dasar para kapitalis! Selalu saja egois! Tak pernah memikirkan keadaan orang lain. ”
”Iya kalau sudah begini, anak – anaklah yang jadi korban. Kasihan, mereka harus kehilangan tempat bermain. Dampaknya pun tidak baik juga bagi anak – anak.”
”Saya masih ingat kondisi lapangan ini 30 tahun yang lalu ketika saya masih anak – anak. Sungguh jauh berbeda dari saat ini.”
”Iya saya juga. Senang sekali bermain bola, layang – layang, petak umpet, kelereng, gobak sodor, ah....menyenangkan sekali ya Pak!” Kenang Pak Dul akan masa kanak – kanaknya. Lantas kedua lelaki tersebut tertawa – tawa bernostalgia mengenang masa kanak – kanaknya yang menyenangkan.
Mendengar perbincangan tersebut aku menjadi sedih, kecewa, marah sekaligus senang. Enak sekali ya ilalang di sana, berkorban untuk kepentingan dan kebaikan masyarakat sedangkan aku hanya dikorbankan untuk sesuatu yang katanya merupakan kebutuhan masyarakat padahal kenyataannya hanya merupakan kepentingan satu orang saja untuk mengeruk keuntungan sebanyak – banyaknya. Sungguh egois dan ironis jika melihat kenyataan kondisi masyarakat di sekitarnya.
Kalau sudah begini, apa yang bisa dilakukan oleh sebuah ilalang sepertiku? Hanya bisa diam dan pasrah menerima kenyataan tanpa bisa berbuat apa pun untuk bisa bertahan hidup. Aku, bunga bakung, pohon akasia dan semua makhluk hidup di lapangan ini merasakan hal yang sama. Mau tak mau kami harus mau. Aku juga mendengar, kabarnya masyarakat di sekitar lapangan ini juga telah melakukan protes dan demo menolak pembangunan pusat perbelanjaan itu dan bersikeras tetap mempertahankan lapangan ini. Namun tampaknya percuma saja, tuntutan mereka tak pernah sekali pun digubris.
Hingga akhirnya sampai pada saat yang ditunggu – tunggu. Kontraktor dan para pekerjanya telah berada di lapangan dan siap meluluhlantakkan kami. Mengubah hamparan hijau yang bisa dibilang sudah semakin langka di kota besar ini menjadi sebuah bangunan yang tinggi, besar dan angkuh. Sebuah senyum puas berbalut ketamakan menghiasi wajah seorang laki – laki paruh baya berbadan gendut yang membuatku muak dan marah. Namun tak disangka, di sisi lain lapangan aku melihat wajah sedih anak – anak yang selalu bermain di sini setiap sore. Mereka menatap lapangan ini seakan tak ingin kehilangan. Lapangan ini sudah menjadi bagian dari hari – hari mereka. Lapangan yang menyimpan berbagai macam kenangan mereka. Aku jadi semakin sedih.
Sementara itu, matahari semakin terik saja. Satu per satu anak – anak meninggalkan lapangan. Namun tidak dengan seorang gadis kecil berkulit putih bermata sipit dengan rambut kepang khasnya. Entah apa yang dipikirkannya. Tiba – tiba saja aku dapat melihat butiran bening mengalir deras membasahi wajah manisnya. Aku jadi semakin sedih. Hingga tak kusadari, emosi ini benar – benar telah menyeruak. Aku pun ikut menangis. Yah... inilah tangisku untuk yang pertama dan terakhir.